info film

">

Pendidkan Komparatif Indonesia VS Jepang


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pendidikan merupakan aspek penting dalam meningkatkan kualitas suatu negara, utamanya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia didalamnya. Dalam hal ini, perlu adanya komparasi sistem pendidikan antara negara sendiri dengan negara lain sebagai kajian meningkatkan mutu pendidikan yang ada. Menyoroti sistem pendidikan yang ada di negara-negara maju disini kami memilih negara Jepang untuk dikomparasikan dengan negara Indonesia.
Negara Jepang memiliki SDM yang mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya, yang dikenal sebagai “Macan Asia”. SDM Jepang menempati peringkat 10 besar dunia menurut HDI (Human Development Index). Adanya perkembangan SDM yang luar biasa ini, yang tidak bisa lepas dengan adanya sistem pendidikan yang bermutu.
Sistem pendidikan di Jepang secara umum dapat dikatakan jauh lebih baik jika dibanding Indonesia. Pendidikan di Jepang sesuai dengan karakter dan budaya orang Jepang. Dari beberapa aspek nampaknya sistem pendidikan di Jepang dapat kita jadikan pedoman, namun tak seluruh dari sistem disana harus kita tiru seutuhnya. Kita harus dapat menyaring beberapa komponen dan aspek untuk kita adopsi pada sistem pendidikan Indonesia. Untuk mengetahui bagaimana sisi kelemahan dan kelebihan yang dapat dijadikan pedoman maka perlu adanya studi komparasi antara pendidikan Jepang dan Indonesia.

B. Rumusan Masalah :
1. Bagaimana sistem pendidikan yang ada di Jepang?
2. Apa kelebihan dan kelemahan sisitem pendidikan yang ada di Jepang?
3. Persamaan dan perbedaan sistem pendidikan Jepang dan Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Pendidikan di Jepang
Sistem adalah suatu rangkaian keseluruhan, kebulatan, kesatuan dan komponen-komponen yang salin berinteraksi atau interdependensi dalam mencapai tujuan. (sumber: ktp09003.wordpress.com). Perbedaan antara makna sistem secara umum dengan sistem dalam pendidikan yakni terletak pada tujuan yang ingin dicapai. Dalam sistem pendidikan tujuan yang ingin dicapai lebih kepada aspek pendidikan. Ada beberapa perbedaan antara sistem pendidikan di Jepang dan di Indonesia yang akan kami bahas dalam pembahasan di bawah ini.
1. Kurikulum Pendidikan di Jepang
Seperti halnya di Indonesia, di Jepang pun kurikulum disusun oleh sebuah komite khusus dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi Kurikulum terdiri dari wakil dari Teacher Union, praktisi dan pakar pendidikan, wakil dari kalangan industri, dan wakil MEXT. Komisi ini bertugas mempelajari tujuan pendidikan Jepang yang terdapat dalam Fundamental Education Law (Kyouiku kihonhou), lalu menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri. Namun, karena unsur politik sangat kental mewarnai wakil-wakil yang duduk dalam komisi ini maka tak jarang terjadi perdebatan panjang terutama antara wakil teacher union dan wakil kementerian dalam penyusunan draft kurikulum.
Pembaharuan kurikulum di Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum terbaru yang diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang diterapkan pada Perang Dunia II. Kurikulum 1998 membawa angin baru dalam dunia pendidikan Jepang. Kurikulum ini berbeda dengan kurikulum sebelumnya berdasarkan konsep yang dibawanya yaitu pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan beragam personaliti siswa, bukan seperti sebelumnya yaitu common education, atau pendidikan yang sama untuk semua siswa.
Guru-guru di Jepang sejak perang percaya bahwa pendidikan harus bersifat massal dan sama, bahkan pendidikan yang menjurus kepada kekhasan tertentu atau menerapkan pola/metode yang lain daripada yang lain dianggap salah. Guru-guru Jepang senantiasa menjaga image bahwa semua siswa harus memiliki prestasi yang sama, kedisiplinan yang sama dengan sistem pendidikan yang serupa. Namun adanya kurikulum baru menyadarkan mereka bahwa setiap anak punya potensi yang berbeda dengan lainnya, dan inilah yang harus dibina.
Pada kurikulum 1998 memberikan pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang yang disebut Yutorikyouiku (sumber: www.darsonmate.blogspot.com). Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku, pemerintah juga menerapkan 5 hari sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat. Tujuan kebijakan ini adalah agar siswa dapat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga dan belajar lebih banyak di lingkungannya pada akhir pekan.
Kurikulum yang baru bersifat fleksibel dan memungkinkan sekolah untuk meramu kurikulum sendiri berdasarkan kondisi daerah, sekolah dan siswa yang mendaftar. Sebagai contoh, di SMP, selain mata pelajaran wajib, siswa juga ditawarkan dengan mapel pilihan.
Adanya kurikulum baru ini, training besar-besaran dilakukan untuk mengubah pola pikir guru-guru Jepang. MEXT juga merevisi beberapa buku pelajaran, dan secara hampir bersamaan mengusulkan pemberlakuan 5 hari sekolah dan adanya jam khusus untuk pengembangan jiwa sosial siswa melalui integrated course atau sougoteki jikan.
Kurikulum di level sekolah disusun dengan kontrol penuh dari The Board of Education di Tingkat Prefectur dan Municipal (distrik). Karena kedua lembaga ini masih terkait erat dengan MEXT, maka pengembangan kurikulum Jepang masih sangat kental sifat sentralistiknya. Namun rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih banyak dalam pengembangan kurikulum di masa mendatang.
Karakteristik kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina gakushū jikan. Konsep Ikiru Chikara adalah konsep yang hendak membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah masyarakat.
Indikator pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah pengukuran internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA dan TIMMS, sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun 1995, prestasi siswa SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun selanjutnya mengalami penurunan. Dengan hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan akademik) tahun 2007.
2. Jenjang Pendidikan di Jepang
Jenjang Pendidikan di Jepang tak jauh berbeda dengan jenjang pendidikan di Indonesia. Sebagaimana di Indonesia, pemerintah Jepang juga mewajibkan setiap warga negara untuk untuk bersekolah selama 9 tahun di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (dari usia 6 hingga 15 tahun). Setelah 9 tahun wajib belajar ditempuh kemudian dilanjutkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Hampir semua murid meneruskan ke Sekolah Menengah Atas, dan menurut MEXT dalam wikipedia.org sekitar 75,9% lulusan sekolah menengah atas pada tahun 2005 melanjutkan ke universitas, akademi, sekolah keterampilan, atau lembaga pendidikan tinggi lainnya.
Di tingkat SMP dan SMA, sama seperti di Indonesia, ada dua kali ulangan, mid test dan final test, tetapi tidak bersifat wajib atau pun nasional. Di beberapa prefecture yang melaksanakan ujian, final test dilaksanakan serentak selama tiga hari, dengan materi ujian yang dibuat oleh sekolah berdasarkan standar dari Educational Board di setiap prefektur. Penilaian kelulusan siswa SMP dan SMA tidak berdasarkan hasil final test, tapi akumulasi dari nilai test sehari2, ekstra kurikuler, mid test dan final test. Dengan sistem seperti ini, tentu saja hampir 100% siswa naik kelas atau dapat lulus. (sumber: http://indosdm.com).
Untuk masuk universitas, siswa lulusan SMA diharuskan mengikuti ujian masuk universitas yang berskala nasional. Ini yang dianggap `neraka` oleh sebagian besar siswa SMA. Sebagian dari mereka memilih untuk belajar di juku (les privat, seperti di Indonesia) untuk dapat lulus ujian masuk universitas. Ujian masuk PT dilakukan dua tahap. Pertama secara nasional- soal ujian disusun oleh Ministry of education, terdiri dari lima subject, sama seperti ujian masuk SMA-, selanjutnya siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan masing-masing universitas, tepatnya ujian masuk di setiap fakultas. Skor kelulusan adalah akumulasi ujian masuk nasional dan ujian di setiap PT.
3. Kualitas pendidik
a. Pendidik di Jepang
Salah satu agenda reformasi pendidikan di Jepang adalah peningkatan kualitas tenaga pendidik di tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dalam rencana reformasi yang yang disusun National Comission of Educational Reform (NCER) yang dituangkan dalam “The Rainbow Plan” pada tahun 2001, poin ke-5 menyatakan bahwa tenaga guru yang professional dihasilkan melalui beberapa cara, diantaranya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
Ada tiga perubahan yang harus dilakukan sekolah untuk meningkatkan perannya di masa mendatang sebagai lembaga pendidikan, yaitu perlunya melibatkan masyarakat sebagai pemilik asli lembaga sekolah, memberikan keleluasaan hubungan guru dan murid yang mengarah kepada pelaksanaan asas demokrasi yang lebih luas, mengembangkan kemampuan akademik siswa melalui pembaharuan metode dan materi pelajaran yang lebih mencerminkan nilai-nilai daerah setempat (Emery, 2006). Hirota (2005, p.186) menyebutkan bahwa masalah pendidikan tidak saja bagaimana agar pendidikan di sekolah menjadi baik, tapi bagaimana pendidikan dapat membentuk masyarakat masa depan.
Pentingnya sertifikasi guru di Jepang mencuat pada masa Meiji saat dikeluarkannya UU tentang tenaga kependidikan pada tahun 1849 (Law for Certification of Education Personnel). Perundangan ini mengalami revisi beberapa kali hingga tahun 1988. Kobayashi (1993) menjelaskan bahwa perundangan ini menunjukkan bahwa pemerintahan yang bersifat sentralistik masih berpengaruh kuat di bidang pendidikan. Kebijakan tentang pengembangan guru diatur secara hukum oleh Kementerian Pendidikan dan dilaksanakan secara top-down oleh lapisan administratur di bawahnya.
Arah reformasi pendidikan di Jepang yang tertuang dalam Rainbow Plan adalah sebagai berikut :
1. Mengembangkan kemampuan dasar scholastic siswa dalam model pembelajaran yang menyenangkan. Ada 3 pokok arahan yaitu, pengembangan kelas kecil terdiri dari 20 anak per kelas, pemanfaatan IT dalam proses belajar mengajar, dan pelaksanaan evaluasi belajar secara nasional
2. Mendorong pengembangan kepribadian siswa menjadi pribadi yang hangat dan terbuka melalui aktifnya siswa dalam kegiatan kemasyarakatan, juga perbaikan mutu pembelajaran moral di sekolah
3. Mengembangkan lingkungan belajar yang menyenangkan dan jauh dari tekanan, diantaranya dengan kegiatan ekstra kurikuler olah raga, seni, dan sosial lainnya.
4. Menjadikan sekolah sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh orang tua dan masyarakat. Tujuan ini dicapai dengan menerapkan sistem evaluasi sekolah secara mandiri, dan evaluasi sekolah oleh pihak luar, pembentukan school councilor, komite sekolah (gakkouhyouginseido) yang beranggotakan orang tua dan masyarakat, dan pengembangan sekolah berdasarkan keadaan dan permintaan masyarakat setempat.
5. Melatih guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, juga pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja guru, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya.
6. Pengembangan universitas bertaraf internasional
7. Pembentukan filosofi pendidikan yang sesuai untuk menyongsong abad baru, melalui reformasi konstitusi pendidikan.
Berdasarkan laporan dari Komite Pemeriksa Sistem Evaluasi Guru prefektur Nagano, disebutkan bahwa ada beberapa poin yang ditekankan sebagai target penilaian yaitu :
1. Gakusyuu shidou yaitu penilaian berdasarkan kualifikasi akademik guru, dan kegiatan mengajar di dalam kelas berdasarkan petunjuk pengajaran yang dikeluarkan MEXT (gakusyuushidouryou)
2. Seito shidou dan seikastsu shidou, yaitu pembimbingan dan pembinaan kepada siswa berupa pengarahan tentang perkembangan siswa (seito shidou) dan kebiasaan sehari-hari (seikastsu shidou) serta penanganan kelas (gakyyu keiei). Dalam hal ini setiap guru diharuskan untuk memahami jiwa anak, sikap, perilakudan perkembangan jasmani dan rohaninya dan mampu mengarahkannya kepada kebiasaan belajar dan semangat hidup.
3. Shinrou shidou, yaitu kemampuan mengarahkan siswa berdasarkan keinginannya, bakat dan kemampuan akademiknya, baik secara pribadi maupun bekerjasama dengan keluarga anak.
4. Tokubetsu katsudou, yaitu kemampuan membina anak untuk bekerjasaman dalam kegiatan atau event khusus di luar jam pelajaran di sekolah.
5. Gakkou keie, yaitu peran guru dalam manajemen sekolah, kemampuan bekerjasama dengan teman sejawat, memahami dan berusaha untuk mencapai tujuan sekolah.
6. Hogosya, chiiki to no renkei, yaitu kemampuan guru untuk membina kerjasama dengan orang tua murid dan komponen masyarakat.
7. Kenkyuu , kensyuu, yaitu semangat dan motivasi guru untuk mengembangkan diri dan meningkatkan potensinya melalui kegiatan penelitian dan training.
Dengan banyaknya komponen yang dinilai, maka evaluasi guru di Jepang adalah sebuah proses yang kompleks yang memakan waktu selama satu tahun. Tetapi komponen-komponen penilaian tersebut juga mencerminkan orientasi pendidikan di Jepang yang cenderung kepada perhatian yang lebih kepada perkembangan perorangan siswa dan bukan semata kemajuan secara kelompok. Selain itu terlihat pula adanya perluasan makna kerjasama dengan orang tua yang selama ini kurang dilibatkan dalam aktifitas pengajaran di sekolah.
Di beberapa tempat, Teacher Union masih merupakan organisasi yang militan, sehingga kebijakan evaluasi guru yang berorientasi kepada sistem penggajian tidak mudah untuk diadopsi. Sebagaimana halnya pemerintah prefektur Nagano, Aichi, Hokkaido yang bersepakat melaksanakan evaluasi guru tanpa ada kompensasi penggajian.
b. Pendidik di Indonesia
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya walaupun pendidik bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pendidik merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Hal yang tak kalah pentingnya guna mendukung proses pembelajaran yakni adanya sarana dan prasarana yang terpenuhi. Ini juga merupakan salah satu faktor yang mendukung majunya proses pendidikan di negara macan asia ini. Adanya modernisasi pendidikan di negara Jepang tak hanya perubahan dalam bidang kebijakan pendidikan, juga terjadi dalam hal sarana dan prasarana.
Pemerintah Jepang sangat memperhatikan keadaan sarana dan prasarana pendidikan, terbukti dengan adanya anggaran yang tinggi dalam bidang pendidikan. Dengan dukungan teknologi modern, pendidikan di Jepang sangat berkembang pesat.
Tak ada lagi proses pembelajaran yang merusak kesehatan manusia di negara ini. Tidak lagi ditemui kapur tulis yang mampu merusak sistem pernapasan di sana. Tak ditemui lagi ruangan yang hampir roboh di negara ini, semua ruangan sangat nyaman mendukung proses pembelajaran. Pengadaan buku baik buku pembelajaran maupun buku-buku lain yang mendukung sangat diutamakan di negara ini. Gambaran di atas nampaknya cukup untuk membandingkan antara sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia dan Jepang.
Sedangkan untuk keadaan di Indonesia sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.



B. Persamaan dan Perbedaan Sistem Pendidikan Jepang dan Indonesia
Hasil analisis kami mengenai komparasi sistem pendidikan di Indonesia dan di Jepang ternyata sangat banyak memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut disebabkan faktor karakter dan kultur dari masing-masing negara.

1. Persamaan Pendidikan di Jepang dan Indonesia:
a. Baik di Jepang maupun Indonesia sama-sama menempuh SD (selama 6 tahun) dengan tujuan menyiapkan anak untuk mengembangkan seluruh kemampuan dan potensinya.
b. Sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun yang bertujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraan, dan kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberi kesempatan belajar bekerja.
c. Setelah sekolah lanjutan pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan untuk menyiapkan siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja.
d. Jenjang Universitas yang mana berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran dan terbuka bagi siapa saja, bukan pada sekelompok orang.
e. Memiliki komponen pendidikan yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, lingkungan, alat, sarana prasarana.
f. Pengelola sekolah sama – sama dibedakan menjadi dua yaitu pengelola sekolah negeri dan pengelola sekolah swasta.
g. Kedua negara tersebut mewajibkan belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama di SMP, dengan demikian siswa diharapkan mempunyai kemampuan yang berwawasan internasional.
h. Usia siswa yang belajar pada setiap jenjangnya ada yang sama, yaitu pendidikan dasar 9 tahun antara usia 6-15 tahun, sekolah menengah atas usia 16-18 tahun, dan pendidikan tinggi antara 19-25 tahun.

2. Perbedaan Pendidikan di Jepang dan Indonesia
a. Dalam tujuan umum pendidikan jepang mengutamakan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai nilai-nilai individual, dan menanamkan jiwa yang bebas. Sedangkan di Indonesia pendidikan bertujuan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
b. Jepang tidak memasukkan mata pelajaran pendidikan agama di semua jenjang persekolahan (memisahkan pendidikan agama dengan persekolahan), sedangkan di Indonesia pendidikan agama adalah mata pelajaran yang wajib untuk setiap jenjang persekolahan.
c. Dilihat dari kurikulum yang dikembangkan dapat dikemukakan beberapa hal: a. Kurikulum TK di Jepang tidak membebani anak, karena anak tidak dijejali materi-materi pelajaran secara kognitif tetapi lebih pada pengenalan dan latihan ketrampilan hidup yang dibutuhkan anak untuk kehidupan sehari-hari, seperti latihan buang air besar sendiri, gosok gigi, makan, dan lain sebagainya. Sedangkan kurikulum di Indonesia telah berorientasi pada pengembangan intelektual anak.
d. Mata pelajaran level pendidikan dasar di Jepang tidak seberagam yang dikembangkan di Indonesia, jumlahnya tidak banyak, sehingga berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang berlainan setiap hari selama seminggu, maka jarang ada jadwal pelajaran yang sama pada hari yang berbeda.
e. Di Indonesia jarang ditemukan adanya mahasiswa peneliti, lebih-lebih mahasiswa pendengar, sehingga yang ada mahasiswa reguler. Hal itu terjadi barangkali karena orientasi belajar bagi mahasiswa Indonesia jauh berbeda dengan mahasiswa Jepang.
f. Pendidikan wajib di Jepang gratis bagi semua siswa, bahkan bagi anak yang kurang mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat maupun daerah untuk biaya makan siang, sekolah, piknik, kebutuhan belajar, perawatan kesehatan dan kebutuhan lainnya, sedangkan di Indonesia masih sebatas slogan (kecuali di daerah tertentu, seperti kebijakan di Sukoharjo, tetapi baru terbatas biaya sekolah saja).
g. Masuknya anak pada pendidikan prasekolah, terutama di TK, kalau di Jepang dimulai usia 3 tahun, sedang di Indonesia dimulai pada usia 4 tahun.

C. Kelebihan dan Kelemahan antara Sistem Pendidikan di Jepang
Baik di negara berkembang maupun negara maju, tentu terdapat kelebihan dan kelemahan dalam sistem pendidikannya. Di bawah ini akan di jabarkan mengenai kelebihan dan kelemahan yang muncul dalam sistem pendidikan di Indonesia dan Jepang.
Adapun kelebihan dan kelemahan sistem pendidikan yang ada di Indonesia jika dikomparatifkan dengan sistem pendidikan di Jepang.
1. Kelebihan:
Realita pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya proses pembaharuan sistem secara berkelanjutan. Mulai dari standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional hingga kebijakan penerapan otonomi kampus di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

2. Kekurangan:
a. Rendahnya sarana fisik,
b. Rendahnya kualitas guru, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
c. Rendahnya kesejahteraan guru,
d. Rendahnya prestasi siswa,
e. Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
f. Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
g. Mahalnya biaya pendidikan.
h. Sistem pendidikan Indonesia tidak membuat siswa kreatif karena hanya terfokus pada proses logika, kata-kata, matematika, dan urutan dominan. Akibatnya perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru.
i. Value Oriented yang dimaknai sebagai hasil akhir, bukan dari proses yang dilakukan, terkadang menjerumuskan paradigma pendidikan
Adapun kelebihan dan kelemahan sistem pendidikan yang ada di Jepang.
1. Kelebihan menurut William K. Cummings:
a. perhatian pada pendidikan datang dari pelbagai macam pihak
b. sekolah Jepang tidak mahal
c. tidak ada diskriminasi terhadap sekolah
d. kurikulum sekolah Jepang tidak terlalu padat akan materi
e. sekolah sebagai unit pendidikan
f. guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan
g. guru Jepang penuh dedikasi
h. guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan "manusia seutuhnya
i. guru Jepang bersikap adil
j. dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti
k. komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik
l. keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang.

2. Kelemahan:
a. Masih adanya perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem pendidikan beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini. Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negara.
b. Selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada.
c. Pendidikan di Jepang makin meninggalkan aspek nilai-nilai budaya. Pendidikan di sana makin moderen sehingga cenderung aspek intelektual saja yang difokuskan di sana.







BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Pendidikan di Jepang memiliki beberapa perbedaan dan persamaan dengan pendidikan di Indonesia. Adanya perbedaan tersebut tak lepas dari adanya karakter dan kultur dari budaya masing-masing negara. Secara umum pendidikan di Jepang memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat terbukti dengan hasil survei Human Development Index (HDI) yang menyatakan bahwa peringkat SDM Jepang pada peringkat 10 besar di dunia.
Sumber daya manusia di Jepang sudah mampu bersaing dengan negara-negara maju di dunia. Dengan melihat kenyataan yang ada ini bukan berarti seutuhnya pendidikan Jepang sempurna jika dibandingkan dengan Indonesia. Perlu adanya seleksi jika kita ingin mengadopsi sistem pendidikan di Jepang. Beberapa sistem boleh kita pelajari jika dianggap perlu diadopsi dan masih sesuai dengan karakter dan kultur budaya bangsa Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis penulis mengenai komparasi antara pendidikan di Indinesia dan di Jepang, maka penulis menyarankan silahkan kita mengadopsi beberapa sistem pendidikan di Jepang yang dianggap baik asalkan masih tetap sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia.
Penulis juga menyadari bahwa dalam makalah ini masih sangat banyak kelemahan dikarenakan masih kurangnya wawasan dan kemampuan penulis, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman.


DAFTAR PUSTAKA
Dyan. 2007. Mengacu pada Pendidikan di Jepang. Diakses pada tanggal 3 November 2010 di justdyan.blogsome.com
Frenky.2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2010 di edukasi.Kompas.com
Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang. Diakses dari http://edukasi.Kompas.com pada 7 Oktober 2010.
Achmadi. Sistem Pendidikan. Diakses dari www.murniramli.wordpress.com pada tanggal 30 Oktober 2010.
Frenky. 2006. Pendidikan di Indonesia: Masalah dan solusinya. Diakses di http://mii.fmipa.ugm.ac.id pada 7 Oktober 2010.


@ Ahmad Ade Kurniawan_TP_UNY

0 komentar: